Selasa, 10 November 2009

Pantai Sipelot










Salah satu bentuk keindahan pantai sipelot

Terletak di sebelah selatan kota Dampit tepatnya di desa Pujiharjo kabupaten Malang, Pantai Sipelot banyak menyimpan keindahan di dalmnya. Terdampar pasir putih yang luas serta perbukitan tinggi yang hijau, membuat Pantai Sipelot dijadikan oleh masyarakat sebagi tempat pelepas kejenuhan ditengah tengah kesibukan dalam menjalani rutinitas sehari hari...

Banyak orang bilang Pantai Sipelot tuh masih alami...ibarat cewek tuh masih perawan...Hee

sudah...aku nggak akan banyak omong lagi....buruan kesana ajak temen-temen yang banyak, nginep sekalian kalo perlu...karena moment pada malam hari juga ga' boleh d lewatkan...sangat pas memang buat yang hobby camping...

O ya....Jangan lupa bawa camera.... ok guys...see you there

Minggu, 01 November 2009

Atap Hijau




Sebuah gagasan menakjubkan sedang berkembang di kota-kota seluruh dunia. Berhektare-hektare ruang hijau potensial dibangun di atas kepala. Oleh Verlyn Klinkenborg

Foto oleh Diane Cook dan Len Jenshel

Jika bangunan-bangunan tiba-tiba menyembul dari tanah laksana jamur, atap-atapnya akan ditutupi lapisan tanah dan tetumbuhan.
Tentu saja bukan begitu cara manusia membangun. Kita biasanya mengeruk tanah, mendirikan bangunannya, lalu menudunginya dengan lapisan kedap hujan, hampir pasti dengan atap. Menarik jika dikatakan bahwa bentang atap setiap kota di planet ini merupakan gurun buatan manusia. Kebenarannya bahkan lebih kejam. Bentang atap perkotaan seperti neraka kecil. Tempat tanpa kehidupan dengan permukaan aspal, perbedaan suhu yang besar, angin kencang, dan tidak tembus air.

Tetapi, jika Anda melangkah keluar melalui lorong ke atap Vancouver Public Library yang bertingkat sembilan di pusat kota Vancouver (Kanada), Anda akan menemukan padang rumput, bukan tanah tandus beraspal. Kumpulan selang yang berkelok-kelok mengalir melintasi atap, tidak ditanam pada wadah persegi atau pot tetapi dalam campuran tanah khusus di atap. Ini adalah padang rumput di langit. Jika dibuat di lantai dasar, kebun seluas 1.850 meter persegi ini—dibuat oleh arsitek lanskap Cornelia H. Oberlander—akan cukup mencolok. Karena menjulang di atas Vancouver, pengaruhnya hampir membuat kita kehilangan orientasi. Jika mengunjungi atap-atap gedung di kota, biasanya kita berniat untuk melihat pemandangan. Namun di puncak gedung perpustakaan ini, saya justru berdiri di dalam pemandangan itu. Semak-semak rerumputan hijau, biru, dan cokelat yang tidak diduga ini berada di antara begitu banyak kaca dan baja dan beton.

“Atap hijau” bukanlah hal baru. Atap-atap tersebut biasa ditemui di antara rumah-rumah beratap rumput di padang rumput Amerika. Atap-atap dari tanah berumput juga masih dapat ditemui di rumah-rumah kayu dan lumbung-lumbung di Eropa Utara. Tetapi dalam beberapa dekade terakhir ini, para arsitek, pembangun, dan perencana kota di seluruh penjuru planet mulai beralih ke atap-atap hijau. Bukan untuk mendapatkan keindahannya dibandingkan atap tradisional—soal penampilan nomor dua—melainkan untuk kegunaannya, kemampuannya dalam meringankan suhu ekstrem, dan pengaturan kelebihan air yang biasa terjadi pada atap-atap biasa.

Melintasi kota dari perpustakaan, Vancouver Convention Centre sedang mendapatkan atap hijau yang baru. Tepat di seberang jalan terdapat kebun koki di atap hotel Fairmont Waterfront. Melintasi kota pada arah lain, atap-atap hijau akan ditumbuhkan di sebuah desa yang sedang dibangun untuk Olimpiade Musim Dingin 2010. Berdiri di atap hijau di Vancouver—atau Chicago atau Stuttgart atau Singapura atau Tokyo—akan mengingatkan kita: betapa berbedanya atap-atap ini. Kita juga bertanya-tanya, mengapa orang tidak membuat yang seperti ini?

Teknologi hanya sebagian alasan. Selaput-selaput kedap air sekarang memudahkan perancangan sistem atap hijau yang bisa menampung air untuk pengairan. Juga memungkinkan dibuatnya saluran air, menunjang media tanam, dan menahan penyusupan akar. Di beberapa tempat, seperti Portland, Oregon, para pembangun telah diyakinkan untuk menggunakan atap hijau. Imbalannya antara lain berupa pengurangan pajak. Di tempat-tempat lain—seperti Jerman, Swiss, dan Austria—atap hijau menjadi wajib karena diatur dalam hukum setempat. Harus dibuat pada atap-atap yang cocok.

Para peneliti seperti misalnya Maureen Connely—yang mengelola laboratorium atap hijau di British Columbia Institute of Technology—sedang mempelajari keuntungan-keuntungan praktis yang ditawarkan oleh atap hijau. Selain ikut mengukur bagaimana atap-atap itu berfungsi, mereka juga menyediakan pengukuran akurat soal kemampuan atap dalam mengurangi kelebihan air-badai, meningkatkan efisiensi energi, dan mengurangi kebisingan perkotaan. Inilah awal dari sejumlah besar atap hijau penting di seluruh dunia, yang masing-masing mengandung eksperimen.

Faktor lain yang mendorong penyebaran atap hijau adalah perubahan gagasan manusia tentang kota. Gagasan itu tidak lagi bijak atau praktis atau, dalam hal ini, etis, untuk menganggap kota sebagai antitesis alam. Menemukan cara untuk membuat kota menjadi alami akan membuat area perkotaan lebih dapat ditinggali, dan tidak hanya untuk manusia.

Atap-atap hijau mengingatkan kita bahwa sistem-sistem biologi alamiah adalah sebuah kekuatan pengendali. Ketika musim panas, suhu siang hari di puncak-puncak atap biasa, yang dilapisi aspal, bisa sangat tinggi, melebihi 65 oC dan memberi kontribusi terhadap keseluruhan efek pulau-panas perkotaan. Kota cenderung menjadi lebih hangat daripada daerah-daerah sekitarnya. Di atap-atap hijau, perpaduan antara tanah dan tetumbuhan bertindak sebagai penyekat. Fluktuasi suhu hanya sedikit, sehingga mengurangi biaya pemanasan dan pendinginan hingga 20 persen pada bangunan-bangunan di bawah atap tersebut.

Ketika hujan turun di atap biasa, airnya meluncur dari tebing-tebing buatan di kota, membanjiri lereng-lereng buatan menuju ke saluran-saluran badai. Air tidak terserap, tidak tersaring, dan hampir tidak terhalang. Sedangkan atap hijau justru bekerja seperti padang rumput yang menyerap air, menyaringnya, memperlambatnya, bahkan menyimpan sebagian air untuk penggunaan di lain kali. Hal tersebut akhirnya membantu mengurangi ancaman kebanjiran pada pipa-pipa pembuangan air, memperpanjang masa hidup sistem penyaluran air di kota, dan mengembalikan air yang lebih bersih ke daerah genangan di sekitarnya. London, sebagai contoh, telah mengantisipasi lebih banyak hujan dan banjir akibat perubahan iklim, dan kota ini sedang mempertimbangkan bagaimana atap hijau dapat mengurangi ancaman tersebut.

Barangkali yang terpenting, atap hijau dapat dihuni. Atap-atap ini merebut kembali apa yang sekarang pada dasarnya merupakan tempat tidak terpakai di dalam kota dan mengubahnya menjadi serangkaian pulau atap gedung yang “terkoneksi” dengan pedesaan melampaui batas-batas kota. Berbagai spesies besar dan kecil—semut, laba-laba, kumbang, burung lapwing, burung laut berekor pendek, dan gagak—sekarang tinggal di atap-atap hijau. Daftar ini juga diisi oleh black redstart Britania, burung yang membuat koloni di puing-puing lokasi industri yang telah ditinggalkan, habitat yang hilang akibat pembangunan kembali. Solusi yang dikembangkan oleh Dusty Gedge, seorang konsultan hidupan liar Inggris sekaligus seorang pendorong atap-atap hijau di Inggris, adalah membuat habitat atap gedung yang hidup dari puing-puing yang sama.

Ini bukan hanya soal membuat atau menggantikan habitat yang ada. Di Zürich, Swiss, atap hijau berusia 95 tahun dengan sistem penyaringan air berfungsi sebagai tempat perlindungan untuk sembilan spesies anggrek setempat yang tersingkir dari pedesaan sekitar ketika habitat berupa padang rumput diubah menjadi lahan pertanian.
Sumber : National Geographic Indonesia